Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai penyair yang menggunakan bahasa yang sederhana dalam menulis puisi-puisinya. Tidak banyak yang tahu pada saat awal-awal berkarya dia terinspirasi oleh karakter penulisan puisi Amir Hamzah sehingga puisi-puisinya cenderung panjang. Seperti puisi Sapardi Djoko Damono berjudul Kolam di Pekarangan yang masuk dalam buku Antologi puisi yang diterbitkan oleh Studio Jehan di Bandung. Simak puisi panjangnya di bawah ini.
Kolam di Pekarangan
/i/
Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga tergadah ke
ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya. Ia ingin sekali bisa
merindukannya. Tak akan dilupakannya hari itu menjelang sibuh hujan terbawa
angin memutarnya perlahan, melepasnya dari rranting yang dibebani begitu banyak
daun yang terus-menerus berusaha untuk tidak bergoyang. Ia tak sempat lagi
menyaksikan matahari yang senantiasa hilang-tampak di sela-sela rimbunan yang
kalau siang diharapkan lumut yang membungkus batu-batu dan menempel di dinding
kolam itu. Ada sesuatu yang dirasakannya hilang di hari pertama ia terbaring di
kolam itu, ada lembab angin yang tidak akan bisa dirasakannya lagi di kepungan
air yang berjanji akan membusukannya segera setelah zat yang dikandungnya
meresap ke pori-porinya. Ada gigil matahari yang tidak akan bisa dihayatinya
lagi yang berkas-berkas sinarnya suka menyentuh-nyentuhkan hangatnya pada
ranting yang hanya berbisik jika angin lewat tanpa mengatakan apa-apa. Zat itu
bukan angin. Zat itu bukan cahaya matahari. Zat itu menyebabkannya menyerah
saja pada air yang tak pernah bisa berhenti bergerak karena ikanikan yang di
kolam itu diperingatkan entah oleh Siapa dulu ketika waktu masih sangat purba
untuk tidak pernah tidur. Ia pun bergoyang ke sana ke mari di atas hamparan
batu kerikil yang mengalasi kolam itu. Tak pernah terbayangkan olehnya bertanya
kepada batu kerikil mengapa kamu selalu memenjamkan mata. Ia berharap bisa
mengenal satu demi satu kerikil itu sebelum sepenuhnyamembusuk dan menjadi satu
dengan air seperti daun-daun lain yang lebih dahulu jatuh ke kolam itu. Ia
tidak suka membayangkan daun lain yang kebetulan jatuh di kaki pohon itu,
membusuk dan menjadi pupuk, kalau kebetulan luput dari sapu si tukang kebun.
*
Ia ingin sekali bisa merindukan ranting pohon jeruk itu.
*
Ingin sekali bisa merindukan dirinya sebagai kuncup.
/2/
Ikan tidak pernah merasa terganggu setiap kali ada daun
jatuh ke kolam, ia memahami bahwa air kolam tidak berhak mengeluh tentang apa
saja yang jatuh di dalamnya. Air kolam, dunianya itu. Ia merasa bahagiaada
sebatang pohon jeruk yang tumbuh di pinggir kolam itu yang rimbunnnya selalu
ditafsirkan sebagai anugerah karena melindunginya dari matahari yang wataknya
sulit ditebak. Ia senang bisa bergerak mengelilingi kolam itu sambil sesekali
menyambar lumut yang terjurai kalau beberapa hari lamanya si empunya rumah lupa
menebarkan makanan. Mungkin karena tidak bisa berbuat lain, mungkin karena
tidak akan pernah bisa memahami betapa menggetarkannya melawan arus sungai atau
terjun dari ketinggian, mungkin karena tidak pernah merasakan godaan umpan yang
dikaitkan di ujung pancing. Ia tahu ada daun jatuh, ia tahu daun itu akan
membusuk dan bersenyawa dengan dunia yang membebaskannya bergerak ke sana ke
mari, ia tahu bahwa daun itu tidak akan bisa bergerak kecuali kalau air
digoyang-goyangnya,. Tidak pernah dikatakannya Jangan ikut bergerak tinggal saja di pojok kolam itu sampai zat entah
apa itu membusukkanmu. Ikan tidak pernah percaya bahwa kolam itu dibuat khusus
untuk dirinya oleh sebab itu apa pun bisa saja berada di situ dan
bergoyang-goyang seirama dengan gerak air yang disibakkannya yang tak pernah
peduli ia meluncur ke mana pun. Air tidka punya pintu.
*
Kadangkala ia merasa telah melewati pintu demi pintu
*
Merasa lega telah meninggalkan suatu tempat dan tidak hanya
tetap berada di situ.
/3/
Air kolam adlaah jendela yang suka menengadah menunggu
kalau-kalau matahari berkelata lewat di sela rimbunan dan dengan cerdik
menembusnya karena lumut merindukannya. Air tanpa lumut? Air, matahari, lumut.
Ia tahu bahwa dirinya mengandung zat yang membusukan daun dan menumbuhkan
lumut, ia juga tahu bahwa langit tempat matahari berputar itu berada jauh di
luar luar luar sana, ia bahkan tahu bahwa dongeng tentang daun, ikan dan lumut
yang pernah berziarah ke jauh sana itu dak lain siratan dari rasa gamang dan
kawatir akan kesia-siaan tempat yang dihuninya. Langit tak pernah firdaus baginya.
Dulu langit suka bercermin padanya tetapi sekarang terhalang rimbunan pohon jeruk
di pinggirnya yang semakin rapat daunnya karena matahari dan hujan tak
putus-putus bergantian menyayanginya. Ia harus merawat daun yang karena tak
kuat lagi bertahan lepas dari tangkainya hari itu sebelum subuh tiba. Ia harus
merawatnya sampai benar-benar busuk, terurai dan tak bisa lagi dikenali
terpisah darinya. Ia [un harus habis habisan menyayangi ikan itu agar bisa
terus menerus meluncur dan menggoyangnya. Air baru sebenar-benar air kalau ada
yang terasa meluncur, kalau ada yang menggoyangnya, kalau ada yang berterima
kasih karena bisa bernafas di dalamnya. Ia sama sekali tak suka bertanya Siapa gerangan yang telah mempertemukan
kalian di sini. Ia tak peduli lagi
apakah berasal dari awan di langit yang kadang tampak bagai burung kadang bagai
gugus kapas kadang bagai langit-langit kelam kelabu. Tak peduli lagi apakah
berasal dari sumber jauh dalam tanah yang dulu pernah dibayangkannya kadang
bagai silangan garis-garis lurus, kadang bagai kelokan tak beraturan, kadang
bagai labirin.
*
Ia kini dunia .
*
Tanpa ibarat.
0 Comments